Masa registrasi ulang menyimpan begitu banyak pesona dibenak semua mahasiswa baru. Awal bertatap muka di depan gedung, sudah disambut spanduk yang serentak membuat perasaan bangga karena bertuliskan “Selamat Datang Siswa Terbaik dari Seluruh Indonesia”, namun pertanyaan bertumpuk di dalam hati. Apakah benar semuanya termasuk siswa unggulan? Apakah saya layak meraup ilmu di IPB? Kenapa harus mencari ilmu sejauh ini? Kenapa harus masuk perguruan tinggi yang berbasis pertanian?
Subhanallah, menghela nafas sejenak untuk bersyukur karena tidak mungkin perjalanan sejauh ini terus menerus dipenuhi tanda tanya kegundahan di atas keberhasilan.
Ini sebuah jawaban dari yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui untuk hamba yang senantiasa berharap dalam perjuangan menempuh pendidikan yang lebih baik.
Awal bulan Juni kemarin menjadi tatapan hari kedua memasuki kampus Institut Pertanian Bogor untuk tahap Open House setelah hari sebelumnya berupa tahap registrasi ulang bagi siswa SMA yang lulus SNMPTN jalur undangan. Sekitar tiga ribu mahasiswa baru dengan semangatnya juga yang berbinar mewarnai suasana sekitar Gedung Graha Widya Wisuda sekaligus tempat mereka menerima kuliah umum perdananya dari dosen yang membanggakan, beliau seorang Wakil Menteri Pertanian Indonesia, Bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi. Sebenarnya belum pernah terbayangkan akan menerima sambutan pelajaran dan motivasi langsung dari seseorang yang begitu besar andilnya di dunia pertanian Indonesia. Betapa tidak, semua yang disampaikan beliau sangat bermakna, seru, dan menarik untuk disimak dan dicerna. Apalagi di akhir pidatonya, ada suatu tantangan yang menggembirakan mengenai biaya kuliah gratis selama satu tahun untuk mahasiswa TPB.
Begitu beruntungnya dapat berkumpul bersama teman-teman lainnya yang berhasil lolos tahap undangan. Namun, ini hanya sebuah kunci. Kunci untuk membuka pintu perjuangan di hari esok. Hal itu patut disadari oleh semua siswa termasuk rekan-rekan yang harus mendapatkan kursi PTN dengan jalan ujian tertulis. Karena perbedaannya, mereka harus mendapatkan kunci pintu perjuangan tersebut dengan materi, tenaga, dan juga pikiran dengan penuh kejujuran.
Berakar dari sebuah impian, keinginan, dan juga mimpi yang sebenarnya, semua menyangkut IPB. Begitu dekat dan hangatnya nama IPB, bukan karena dorongan siapapun ataupun rumor yang tidak jelas kebenarannya. Impian masa kecil sekaligus cita-cita menjadi sosok yang mengenal juga menguasai teknologi tetapi tetap bisa bertani dan berbakti pada lingkungan sudah di depan mata. Tahap pembekalan diri dimulai sejak duabelas tahun silam hingga masa akhir SMA dihadapkan dengan pilihan berat, kemana dan bagaimana harus melanjutkan sekolah. Secara mengejutkan, pemerintah memberikan kemudahan bagi lulusan SMA tahun 2011 dengan sistem SNMPTN Undangan. Banyak pihak merasa diuntungkan dengan sistem seperti itu, baik dari pihak guru maupun para siswa berprestasi di satuan pendidikannya masing-masing.
Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi favorit apalagi bertitel negeri adalah keinginan semua siswa SMA di seluruh nusantara. Namun kenyataannya hanya keberuntungan dan anugerah bagi sebagian siswa saja yang dapat merasakan bangku perguruan tinggi karena masih beribu anak bangsa yang harus terhenti mengenyam pendidikan formal sampai tingkat SMA, bahkan terhenti di tingkat dasar. Hal ini diperhatikan penuh oleh beberapa perguruan tinggi. Masing-masing terkesan berlomba membuat program seleksi masuk dengan berbagai kriteria khusus yang disuguhkannya.
Modal utama berupa usaha maksimal dan niat untuk mencoba jalur undangan, akhirnya keinginanpun terwujud dan tibalah di gerbang IPB. Tidak sia-sia mengorbankan uang tabungan sendiri untuk mendaftar di jalur ini. Bayangan penyesalan karena memprioritaskan perguruan tinggi terluas se-Indonesia ini sama sekali tidak nampak. Karena sejak awal tekad melanjutkan sekolah hanya untuk menjawab impian dan pembuktian sebuah mimpi. Dimana sebuah gengsi masa kecil dipertentangkan karena kesadaran kemampuan dan keadaan khususnya keluarga. Melihat seorang ayah bertani dan bergaul dengan cangkul, kenapa anaknya harus enggan membantunya. Inspirasi dari kerja keras orang tua di ladang membuat semangat baru untuk membantu sekaligus meneruskan profesinya sebagai petani. Namun petani berdasi yang melek teknologi juga perkembangan pengetahuan untuk mendorong kehidupan dan mengangkat derajat petani lainnya.
Penegasan sebuah impian ini tidak mengambang dalam cerita terlalu lama tetapi akan segera terbukti melalui sederet langkah di kampus IPB. Suguhan kompetensi umum yang tertera di masa satu tahun pertama sudah menjadi tantangan. Tahap matrikulasi seakan menjadi hidangan awal yang terbayang menyeramkan dikalangan mahasiswa baru. Semua mahasiswa dituntut mendaur ulang dua mata pelajaran yang telah dipelajarinya di SMA dan diasah untuk menguasainya lebih dalam. Hal ini akan tertanggap beda dalam asumsi mahasiswa. Karena mereka berasal dari daerah berbeda dimana sekolahnya masing-masing menerapkan disiplin ilmu yang beragam. Mereka merasakan sebuah perbedaan mendasar saat menangkap sistem penyampaian pembelajaran dari para dosen, pemberian tugas yang lain dari biasanya, serta sederet aplikasi ilmu yang begitu menuntut kemandirian. Apalagi suatu batasan indeks prestasi begitu menggerek gemetar langkah mereka dalam belajar, seakan kesulitan menderu mahasiswa baru bertubi-tubi di tahap pertama ini. Namun hal itu hanya salah satu tujuan dari Program Pendidikan TPB IPB yang menuntut mahasiswa harus mampu berfikir logis, sistematis, kuantitatif, dan mampu berkomunikasi ilmiah secara lisan atau tertulis
Kesadaran akan adanya adaptasi diri baik dengan bidang akademis maupun lingkungan harus disadari oleh setiap mahasiswa baru. Dapat diibaratkan sebagai proses menuju fleksibelitas mahasiswa ditahun-tahun berikutnya. Memang benar bahwa pelesetan singkatan IPB yang mengartikan Institut Pleksibel Banget tidak sembarang guyonan semata. Hal ini merujuk pada kenyataan bahwa banyak lulusan IPB tidak hanya berkecimpung di dunia pertanian saja, melainkan banyak juga yang berkarir di dunia perbankan dan media masa disamping telah banyaknya melahirkan wirausahawan berhasil. Terdapat juga lulusan yang sukses di bidang ekonomi seperti yang diungkap dalam postingan blog seseorang, sebut saja Didik Rachbini, Iman Sugema, dan kawan-kawan yang kini mereka di Indief (Institute for Development and Finance Indonesia). Selain itu ada juga karya lulusan IPB yang sekarang produknya ramai di pasaran, yakni Gigin Mardiana pencipta boneka horta. Beberapa profesi tersebut hanya segelintir saja yang dapat membuktikan bahwa fleksibelitas didikan IPB menjamur di berbagai bidang.
Jika dilihat dari segi dominasi karir yang banyak digeluti alumni IPB dewasa ini, sangat sedikit profesi mereka yang menyangkut pertanian. Hal itu dibarengi dengan pilihan anak bangsa yang terkesan enggan dengan potensi status keagrarisan negara ini. Sepintas tersirat bahwa minat pelajar terhadap dunia pertanian menurun. Gengsi mereka lebih condong dengan hal teknologi dan kesempatan finansial semata. Padahal, sesuai penuturan bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi saat menyampaikan kuliah umum kepada seluruh mahasiswa baru menyatakan bahwa kita sudah tidak mungkin mengejar dan melampaui ketangguhan canggihnya teknologi negara lain khususnya Jepang, namun beliau juga menuturkan bahwa masih ada beberapa sisi potensial negeri ini untuk dipersaingkan di kancah global. Bahkan sisi itulah yang membuat kita tidak ada tandingannya dengan bangsa lain. Diantaranya potensi sumber daya alam yang begitu melimpah. Satu sisi yang senantiasa dibungkam oleh kesadaran penduduknya. Di sinilah kita dituntut untuk pandai mengolah dan berinovasi dengan kekayaan alam tersebut.
Mengingat kembali tuturan Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, M. Sc. pada acara sambutan Open House mahasiswa baru angkatan 48 yang mengatakan bahwa sampai saat ini masih terjadi dilema di masyarakat mengenai krisis pangan. Harga pupuk semakin mahal, politisasi pertanian, masuknya berbagai produk pertanian impor, semakin mempersulit petani untuk bersaing di pasar. Memang generasi muda belum saatnya memikirkan hal seperti ini. Tetapi setidaknya kita merasa malu dengan keadaan dan kemampuan. Paling tidak dengan rasa malu tersebut akan lahir sebuah semangat untuk mempelajari dan mempersiapkan diri menghadapi serta mengatasi krisis yang bersangkutan dengan sektor pertanian. Jangan hanya bangga memiliki alam yang kaya, lahirkan semangat agraris yang dapat membuat gengsi dan bermanfaat karena masalah pertanian tidak bisa dianggap sepele.
Memimpikan keberhasilan peran pendidikan terhadap pertanian layaknya mengharapkan gerimis di gurun pasir. Implementasi di lapangan, walaupun ini hanya pengamatan amatir dari seorang siswa ternyata jarang terlihat raut para petani bahagia. Mereka hanya tergantung dari hasil sepetak ladang dalam kurun waktu musim yang tidak menentu. Masih adakah generasi muda khususnya mahasiswa yang berani berinovasi untuk senyum para petani? Beranjak dari hal itu, justru diperkirakan kita akan kekurangan banyak mahasiswa yang meninggalkan urusan pertanian. Ini dikaitkan dengan wacana di internet beberapa tempo lalu bahwa ada perwakilan mahasiswa pertanian mengeluh ke IPB, mereka mengatakan bahwa minat masyarakat khususnya generasi muda untuk menekuni sektor pertanian sangat berkurang. Hal itu terlihat dari menurunnya jumlah mahasiswa fakultas pertanian disejumlah universitas secara drastis. Sebut saja Universitas Mercu Buana Jakarta, Universitas Borobudur Jakarta, dan Universitas Islam ’45 Bekasi. Bahkan menurut perwakilan dari Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (Popmasepi), Alqudsi Angelina Adam, akan ada beberapa universitas lagi yang menyusul.
Institut Pertanian Bogor dengan sederet keunggulannya ditinjau mampu bersaing dengan ketatnya peluang kerja di suasana globalisasi ini. Telah terasa tarikan yang memunculkan talenta setiap mahasiswa melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Inilah salah satu motor cadangan semangat mahasiswa selain dukungan infrastruktur dan pengajar yang berkompeten mendorong dan menciptakan mahasiswa unggul dan mampu berkreativitas diberbagai bidang.
Pengejaran sebuah impian rasanya sudah sampai di dermaga dan tinggal melangkahkan kaki di area perjuangan baru. Rasa bangga tumbuh menjadi gengsi tertinggi tatkala diterima masuk IPB. Setidaknya hal yang sama dirasakan oleh tiga ribu mahasiswa baru lainnya. Kita di sini untuk berjuang menjawab mimpi dan mewujudkannya. Kita di sini untuk berjuang melawan gengsi terhadap pilihan. Berani untuk menjadi seorang yang menjunjung dan memajukan kehidupan pertanian.
ConversionConversion EmoticonEmoticon